Aku, Kamu, dan Cita – Cita
Ini tentang
cita – citaku. Namun terselip di dalamnya satu cerita hati.
Ini tentang
persahabatan dan berjuang sendiri karenanya.
BAGIAN 1 - KUNJUNGAN
Madinah, 26 Desember
Udara
dingin menyelimuti kota yang menjadi tujuan kedua bagi ummat muslim setelah
kota Makkah. Bus yang ku naiki tersengat oleh teriknya matahari, namun tetap
teguh membelah setiap inci jalan toll yang kami lewati. Terdengar suara
lelaki yang tidak jauh dari tempat dudukku. Dia berkata, “Lihatlah! Di sebelah
sana ada Universitas Madinah yang terkenal. Hanya saja, tempat itu dikhususkan
untuk mahasiswa sedang mahasiswi berada di Riyadh.” Jelasnya seraya menunjuk ke
pinggiran jalan toll. Aku tertegun. Sejenak dalam benakku aku bertanya, ‘bagaimana
bila aku bersekolah di sini?’ namun pikiran tersebut hanya sekilas melintas di
benakku. Dalam sekejap, aku sudah membuang pikiran tersebut tanpa sadar.
Tuk tuk
tuk, suara langkah kaki ku menghiasi
ruangan luas tempat orang bermigrasi. Dia yang sedari tadi ada tepat di
belakangku. Dia yang telah menghiasi beberapa hari terakhir ku. Kami tidak
berbincang banyak. Sedikit namun sangat berarti bagiku. Sekarang, tujuan kita
sama. Pulang ke tanah air tercinta, Indonesia. Rindu akan hangatnya rumah — itu
yang kami berdua rasakan.
Tangerang,
2 Januari
Aku bergegas
menuju tempat pengambilan kopor. Dia yang sedari tadi membuntuti ku, kini
menghilang. Bukannya mencari keberadaan kopor ku, mataku malah sibuk mencari
dimana dirinya berada. Oh, baguslah sekarang aku telah jatuh cinta tanpa sadar.
Aku benci perasaan yang tak henti – hentinya mengalir ini. Ah itu dia! Ku lihat
punggungnya menjauh dan keluar ruangan. Aku rasa itu adalah pemandangan terakhir
yang ku lihat dari dirinya. Berhari – hari setelahnya, aku belum kunjung
menemuinya. Namun namanya selalu terselip dalam doa setiap sujudku.
Bersambung
No comments:
Post a Comment